Oleh Wilson Lalengke
Jakarta – Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (Lord Acton, 1887)._ Terjemahan bebas kira-kira begini: Kekuasaan hampir pasti melahirkan korupsi dan kekuasaan mutlak pasti memperanakkan korupsi secara mutlak. Ungkapan itu merupakan bagian dari tulisan Bangsawan Inggris, John Emerich Edward Dalberg-Acton, kepada Uskup Creighton dalam suratnya yang membahas masalah moral dalam proses peradilan. Acton menekankan keharusan penerapan standar moral yang sama kepada semua orang, tidak terkecuali terhadap tokoh politik dan pemimpin agama.
Adagium Acton tersebut telah menjadi rujukan bagi banyak negara dalam membangun prinsip-prinsip negara domokrasi yang membatasi kekuasaan, baik kekuasaan pemerintahan, kekuasaan bisnis, maupun lembaga dan organisasi non pemerintahan lainnya. Pembatasan-pembatasan yang diterapkan melalui pembuatan undang-undang itu bertujuan agar setiap orang atau kelompok orang tidak menggungakan kekuasaan yang dipegangnya secara sewenang-wenang, yang akan menggiring seseorang menggunakan kekuasaan tanpa batas. Pembatasan kekuasaan itu pada hakekatnya ditujukan untuk menghindarkan diri para pemegang kekuasaan dari perilaku koruptif.
Berdasarkan daftar penilaian korupsi negara-negara di dunia yang diterbitkan oleh Global Transparency International tahun 2023, Indonesia menduduki posisi ke-115 dari 180 negara dengan score 34. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga Singapore dan Vietnam. Bahkan, negara bekas provinsi ke-27 Republik Indonesia, Timor Leste, justru bertengger di posisi yang jauh lebih baik, yakni rangking ke-77.
Korupsi di Indonesia bukanlah hal baru. Perilaku koruptif di kalangan bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu kala. Konon di zaman Kerajaan Majapahit, setiap pelaku korupsi akan dihukum berat. Dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca disebutkan bahwa orang yang mengurangi penghasilan (gaji) atau makanan pekerja, atau mengkorupsi dengan cara mempersempit sawah orang lain, orang tersebut dianggap sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati. Hukuman mati biasanya berupa dipenggal kepala, dibakar hidup-hidup, hukum gantung, atau diseret oleh gajah.
Suatu waktu di awal tahun 1970-an, seorang camat berkunjung ke desa saya di wilayah Morowali Utara. Dari koridor rumah bambu kami, saya yang masih kanak-kanak memandangi sang camat lewat di jalan depan rumah. Dia terlihat agak sempoyongan dengan perut buncitnya yang mirip ibu hamil 9 bulan. Saya bertanya kepada nenek mengapa si camat yang adalah seorang lelaki perutnya gendut persis seperti ibu hamil? Saya tidak pernah melihat lelaki demikian sebelumnya. Nenek menjawab serius, si camat makan uang rakyat sehingga perutnya membesar. Saya mengangguk seakan mengerti. Padahal sesungguhnya yang saya pahami atas jawaban nenek adalah bahwa di dalam perut si camat banyak uang koin (benggol) yang terbuat dari perak atau kuningan yang ditelannya dan tidak bisa dikeluarkan lagi.
Korupsi sudah menjadi diksi umum yang terucapkan di setiap percakapan warga. Mulai dari tingkatan elit istana hingga di level diskusi warga di warung-warung kopi perkampungan kumuh. Melakukan korupsi terkesan telah menjadi hal biasa. Di beberapa kalangan, korupsi dengan segala bentuk dan variannya justru telah menjadi budaya dan dibanggakan. Korupsi bukan lagi sebuah perilaku aneh, ganjil, apalagi ditabukan. Korupsi adalah pelumas pembangunan, kata seorang politisi senior di DPR RI. Korupsi sedikit-sedikit tidak apa-apa, timpal Menteri senior di Istana Negara.