Ponto juga menyoroti akar masalah yang timbul dari kurangnya pemahaman kedua pihak terhadap peran dan kapasitas masing-masing. Ia menekankan pentingnya keterlibatan polisi sejak awal guna mencegah terjadinya konflik.
“Kejadian ini harus menjadi pelajaran penting bahwa penyelesaian konflik harus melalui jalur hukum, bukan dengan kekerasan,” tegasnya.
Kritik dari Wilson Lalengke
Pandangan Ponto mendapat kritik tajam dari Wilson Lalengke. Menurutnya, narasi yang dibangun oleh Ponto justru mengaburkan fakta yang ada. Lalengke menduga pernyataan Ponto merupakan upaya untuk mengalihkan opini publik, dengan menyalahkan pemilik rental dan bukan oknum anggota TNI.
Salah satu pernyataan Ponto yang mengusik rasa keadilan publik, menurut Lalengke, adalah kritik terhadap pemilik rental yang dianggap mengabaikan prosedur hukum. Padahal, pemilik rental sudah mendatangi kantor polisi (Polsek Cinangka, Polres Cilegon, Banten) untuk meminta bantuan. Namun, seperti yang sudah diketahui publik, Kapolsek Cinangka menolak permintaan tersebut dengan berbagai alasan.
“Seharusnya Pak Ponto menyimak dengan seksama setiap detail kejadian yang sudah jelas dipublikasikan. Kapolsek Cinangka bahkan sudah diproses aparat karena menolak membantu pemilik rental. Ini artinya, pemilik mobil sudah mengambil langkah yang tepat, namun aparat kepolisian justru gagal menjalankan tugas mereka,” terang Lalengke.
Lalengke juga menanggapi pernyataan Ponto tentang pengerahan massa. Ia menegaskan bahwa masyarakat yang berkumpul di sekitar lokasi kejadian bukanlah bagian dari pengerahan massa yang disengaja oleh pemilik rental.
“Orang-orang di rest area tersebut berkumpul karena ada kejadian, bukan karena pemilik rental mengerahkan mereka,” ujar Lalengke.
Terkait dengan tindakan anggota TNI yang mengancam pemilik rental, Lalengke mempertanyakan kenapa tidak ada tembakan peringatan ke udara.
“Jika merasa terancam, kenapa tidak memberikan tembakan peringatan ke udara? Kenyataannya, anggota TNI malah menodongkan pistol untuk mengancam pemilik rental,” ujarnya.
Lalengke juga mencurigai bahwa anggota Kopaska TNI AL tersebut mungkin terlibat dalam sindikat mafia penggelapan mobil dengan modus penyewaan mobil rental.
“Saya menduga kuat bahwa oknum anggota Kopaska TNI AL itu adalah bagian dari mafia penggelapan mobil. Kali ini, mereka bertemu dengan pemilik rental yang berani mengejar mobilnya menggunakan alat pelacak,” tambahnya.
Proses Hukum dan Harapan Publik
Kasus ini kini dalam tahap penyelidikan oleh kepolisian dan institusi militer. Publik berharap agar proses hukum dapat berjalan transparan dan memberikan keadilan bagi keluarga korban. Wilson Lalengke juga meminta agar pengadilan militer memberikan hukuman maksimal kepada oknum TNI AL yang terlibat dalam kasus ini.
“Jangan sampai pembunuhan terhadap warga sipil oleh aparat negara dianggap benar. Kasus ini harus menjadi pelajaran penting bahwa aparat TNI tidak kebal hukum,” tegasnya.
Peristiwa tragis ini juga menjadi cermin penting mengenai bagaimana konflik dapat dicegah jika semua pihak mengedepankan hukum sebagai solusi utama.
“Lebih penting lagi, hukum tidak boleh dijadikan mainan oleh aparat hukum, seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Kepercayaan publik terhadap aparat hukum yang rendah sering membuat masyarakat merasa harus menyelesaikan masalah mereka sendiri, walaupun dengan risiko nyawa,” pungkas Wilson Lalengke, yang dikenal sebagai wartawan senior yang gigih membela warga yang teraniaya.
(Tim/Red)