Investigasi Indonesia
Jakarta – Kasus dugaan penelantaran keluarga oleh warga negara Jepang, Makoto Wakimoto, memunculkan kekhawatiran terkait dugaan praktik jugun ianfu atau perekrutan wanita untuk memenuhi kebutuhan seksual. Pria berusia 69 tahun itu diduga menikahi warga Indonesia, Siti Maesaroh (49), pada tahun 2002, namun kemudian meninggalkan istrinya dan anak mereka, Azusa Wakimoto, pada 2008 tanpa kabar.
Siti Maesaroh mengungkapkan bahwa setelah pernikahan yang berlangsung di Kantor Urusan Agama Kemayoran, Jakarta Utara, mereka hidup bersama selama enam tahun. Namun, sekitar pertengahan 2008, suaminya pulang ke Jepang dan sejak itu tidak pernah memberikan kabar lagi. Azusa, anak mereka, saat itu baru berusia 6 tahun.
Dalam upayanya mencari kejelasan, Siti Maesaroh beberapa kali mendatangi Konsulat Jenderal Jepang di Jakarta, namun tidak mendapat bantuan yang memadai.
“Saya merasa masih sebagai istri Makoto Wakimoto. Saya tidak berpikiran untuk menikah lagi dan berusaha sendiri menghidupi anak saya, Azusa,” ungkapnya.
PPWI Kirim Surat ke Kedutaan Jepang
Terkait kasus ini, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, mengirim surat pada 6 Desember 2024 kepada Duta Besar Jepang di Jakarta, Mr. Masaki Yasushi. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM RI.
Dalam suratnya, PPWI meminta Kedutaan Besar Jepang memberikan penjelasan terkait dugaan penelantaran keluarga oleh Makoto Wakimoto serta kebijakan Pemerintah Jepang dalam menangani kasus ini. PPWI juga mendesak Kedubes Jepang untuk segera memberikan informasi tentang keberadaan Wakimoto, serta meminta pertanggungjawaban atas tindakan yang dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Modus dan Tanggung Jawab Pemerintah Jepang
PPWI mengkritik praktik yang diduga dilakukan oleh Makoto Wakimoto, yang mereka sebut sebagai bentuk modus untuk mendapatkan layanan seksual semata. Wilson Lalengke dalam suratnya mengaitkan tindakan ini dengan praktik jugun ianfu yang terjadi selama masa penjajahan Jepang di Indonesia. Sebagai bangsa yang dikenal menjunjung tinggi hak asasi manusia, PPWI meminta agar Pemerintah Jepang memberikan perlindungan kepada anak-anak hasil perkawinan warganya dengan perempuan Indonesia, termasuk memberikan kompensasi untuk biaya hidup dan pendidikan anak tersebut.