Warning BMKG: Megathrust Ancam Indonesia

Gambar Gravatar

Menurut Dwikorita, peningkatan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga menyangkut ancaman gempa dangkal dan gempa merusak yang semakin sering terjadi. Dalam paparannya, ia juga menekankan pentingnya pendekatan mitigasi bencana geohidrometeorologi untuk menghadapi risiko gempa, tsunami, dan bencana hidrometeorologi yang meningkat akibat perubahan iklim.

Indonesia di Tengah Lempeng Dunia

Indonesia terletak di kawasan pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia. Hal ini menyebabkan wilayah Indonesia memiliki potensi kegempaan yang tinggi, dengan 14 segmen subduksi/megathrust dan 402 segmen sesar aktif yang telah teridentifikasi.

“Masih banyak sumber gempa yang belum terdeteksi, sehingga kita harus terus meningkatkan upaya mitigasi,” ujar Dwikorita.

Untuk memantau dinamika tektonik, BMKG telah meningkatkan jaringan pemantauan seismograf dari hanya 20 unit pada 2004 menjadi 550 unit saat ini. Sistem peringatan dini gempa bumi dan tsunami juga terus diperbarui untuk memberikan informasi yang lebih cepat dan akurat.

Bacaan Lainnya

Tren Peningkatan Aktivitas Gempa

Berdasarkan data BMKG, aktivitas gempa bumi di Indonesia terus meningkat sejak 1990.

  • 1990-2008: Rata-rata 2.254 gempa per tahun.
  • 2009-2017: Meningkat menjadi 5.389 gempa per tahun.
  • 2018-2019: Lonjakan signifikan, dengan 12.062 gempa pada 2018 dan 11.731 pada 2019.
  • 2024: Rekor tertinggi, mencapai 29.869 kejadian gempa.

Meski jumlah alat pemantauan bertambah, Dwikorita menegaskan bahwa lonjakan ini bukan semata-mata disebabkan oleh penambahan sensor, melainkan akibat peningkatan aktivitas tektonik.

“Terjadi tren peningkatan, terutama pada gempa dangkal yang sering kali menjadi penyebab gempa merusak,” jelasnya. Pada 2024, tercatat terjadi 20 kali gempa merusak, menambah daftar panjang 119 gempa merusak selama periode 2018-2023.

Fokus Mitigasi di Zona Megathrust

Dwikorita menyoroti pentingnya mitigasi di wilayah-wilayah dengan potensi bencana besar, seperti zona seismic gap di Selatan Banten, Selat Sunda, dan Mentawai-Siberut.

“Kami telah membuat model skenario gempa megathrust dan tsunami, dengan simulasi ketinggian gelombang hingga 20 meter di Selat Sunda. Informasi ini telah disampaikan kepada pemerintah daerah untuk langkah mitigasi,” paparnya.

BMKG juga berkolaborasi dengan pihak internasional, termasuk Taiwan, untuk mengembangkan sistem peringatan dini gempa bumi. Selain itu, BMKG telah memasang sirine tsunami dan memperkuat edukasi masyarakat meskipun pengelolaan sirine bukan wewenang utama BMKG.

Mitigasi untuk Semua Jenis Bencana

Selain tektonik, Dwikorita juga mengingatkan pentingnya mitigasi bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, yang kerap dipicu oleh perubahan iklim.

“Mitigasi harus mencakup semua aspek, baik gempa dan tsunami maupun bencana hidrometeorologi,” tegasnya.

Dengan tren peningkatan aktivitas gempa bumi yang signifikan, BMKG terus berupaya memberikan informasi terkini dan meningkatkan kesiapan masyarakat melalui edukasi dan teknologi.

(Red)

Pos terkait