Balada PWI dan KPK di Lingkaran Kekuasaan

Abah Sofyan

Kini, korupsi tidak hanya dilakukan para pemegang kekuasaan pemerintahan yang notabene merupakan pengelola keuangan negara. Korupsi sudah merambah kemana-mana. Perilaku koruptif uang rakyat sudah menjadi kebiasaan di sekolah-sekolah, kampus-kampus, rumah sakit, dan lembaga-lembaga pengemban amanah kerohanian, plus ormas-ormas dan partai politik. Sejak penerapan Undang-Undang Desa, kucuran triliunan dana desa telah menjadi sasaran empuk kepala desa di hampir seluruh desa di negeri ini untuk dikorupsi.

Teranyar, mencuat kasus korupsi di kalangan wartawan. Tersebutlah pengurus pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) terseret dalam pusaran perkara korupsi dan penggelapan dana hibah yang digelontorkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mereka yang terlibat antara lain Ketua Umum PWI, Hendry Ch Bangun; Sekretaris Jenderal, Sayid Iskandayah; Wakil Bendahara Umum, Muhammad Ihsan; dan Direktur UMKM, Syarif Hidayatullah. Dalam kasus ini, pengurus Dewan Pers diduga kuat terlibat, baik langsung maupun tidak langsung. Kejadian ini sesungguhnya hanyalah titik puncak ‘nasib sial’ dari rangkaian perilaku korupsi yang sudah membudaya cukup lama secara masif, terstruktur, dan sistematis, di kalangan wartawan dari organisasi pers tertua di Indonesia itu.

Kalangan sosiolog meyakini bahwa konten media atau berita dan informasi yang ditayangkan di media-media bukanlah sesuatu yang benar-benar realitas objektif, tetapi hanya mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai mereka yang berkuasa di suatu komunitas atau bangsa. Oleh sebab itu, ketika para wartawan telah berselingkuh dengan para penguasa, sebagaimana dalam kasus PWI – Kementerian BUMN, maka dapat dipastikan korupsi tumbuh seperti jamur di musim hujan.

Faktanya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dibentuk sejak lebih dari 20 tahun lalu, namun korupsi tidak kunjung berakhir. Bahkan yang terjadi malah sebaliknya, korupsi semakin meraja-lela. Ini menunjukkan bahwa perilaku korupsi terus berkembang pesat, baik dari sisi jumlah pelaku maupun kualitas modus operandi serta nominal dana yang dikorupsi.

Bacaan Lainnya

Ajaibnya, korupsi juga tumbuh subur di lingkungan lembaga anti rasuah bernama KPK itu. Korupsi dilakukan oleh hampir semua personil, mulai dari pimpinan puncak hingga ke staf penjaga sel tahanan KPK. Nominal bervariasi, namun angkanya bikin kita bergidik geleng kepala. Dengan kondisi ini, bagaimana mungkin korupsi dapat dihilangkan, atau minimal berkurang, tatkala lembaga ad-hock yang diharapkan memberantas korupsi justru terseret arus ikut melakukan korupsi?

Pertanyaan seriusnya adalah mengapa gerombolan manusia di kedua lembaga itu, PWI dan KPK, dapat terjerembab dengan mudah ke kubangan korupsi? Kata Ebiet, tanyalah pada rumput yang bergoyang. Tapi, tidak sesederhana itu Kang Ebiet. Sebab ketika pagar-pagar memegang kekuasaan, niscaya mereka menjelma jadi pemangsa tanaman yang dijaganya. Dan rumputpun diam tak mampu menjawab sekatapun. Tersebab moralitas hilang dari badan oleh kekuasaan ( _power_ ), jangankan hartanya, tinja temannya pun akan mereka tilap hingga tandas. Itulah kondisi darurat korupsi terparah yang siap hancurkan negeri ini berkeping-keping sebentar lagi.

Penulis adalah jurnalis warga anti korupsi garis keras

(Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Gravatar profile
  • Rating