Jepara, Jawa Tengah – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jepara diduga melakukan kelebihan pembayaran belanja bahan bakar minyak (BBM) tahun anggaran 2023 sebesar Rp433.026.500,00. Jumlah tersebut dinyatakan tidak sesuai dengan bukti riil dan belum seluruhnya dikembalikan ke kas daerah.
Dalam laporan keuangan tahun 2023 yang dirilis oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), DLH Jepara diketahui mengalokasikan belanja bahan bakar dan pelumas sebesar Rp2.262.852.500,00 untuk mendukung operasional alat berat dan kendaraan pengangkut sampah di bawah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengelolaan Sampah.
Namun, audit BPK menemukan sejumlah kejanggalan, antara lain:
- Selisih tagihan dan pembayaran BBM di SPBU 44.594.06 Jepara sebesar Rp105.456.950,00
- Sebanyak 2.783 transaksi pembelian BBM tidak tercatat dalam database Pertamina senilai Rp596.921.206,00
Total kelebihan pembayaran tersebut mencapai Rp702.378.156,00, di mana DLH Jepara baru mengembalikan Rp269.351.656,00 ke kas daerah. Sisanya, sebesar Rp433.026.500,00, ditetapkan sebagai jumlah yang wajib disetorkan kembali dengan batas waktu hingga Juni 2024.
Namun saat awak media mencoba mengkonfirmasi hal ini pada Farikhah Elida, ST., MT, mantan Kepala DLH Jepara periode 30 April 2019 hingga 13 Desember 2023, yang kini menjabat Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan, tidak ada tanggapan meski telah dihubungi via WhatsApp pada Senin (22/09/2025).
Di hari yang sama awak media juga melakukan kunjungan langsung ke kantor DLH untuk menemui Budi Prislistyono, S.Si., M.Si, selaku Sekretaris DLH, namun sayangnya, yang bersangkutan sedang istirahat karena sakit.
Selanjutnya awak media menemui Kabid Pengelolaan Persampahan, Eko Yudi Nofianto, di ruang kerjanya dan dalam perbincangan Eko menyatakan bahwa dana kelebihan pembayaran telah dikembalikan, namun ia tidak dapat menunjukkan bukti fisik atau dokumen pendukung apa pun.
Eko juga mengatakan hal yang mengejutkan, bahwa uang pengembalian tersebut menjadi tanggung jawab para sopir dan menggunakan uang pribadi mereka.
BPK menilai penyimpangan ini terjadi akibat lemahnya pengawasan dan verifikasi di lingkungan DLH, antara lain:
Tinggalkan Balasan