Jakarta – Ruang konferensi selalu menjadi panggung keadilan yang menarik perhatian publik. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan fenomena menarik di dunia perdagangan Indonesia: konferensi kasus-kasus besar yang disiarkan secara langsung ke seluruh penjuru negeri. Sidang kasus pembunuhan Brigadir J dengan penyihir Ferdy Sambo, atau sidang kasus kopi racun dengan pengacara Jessica Kumala Wongso, menjadi tontonan publik yang menarik perhatian jutaan pasang mata di Indonesia.
Tayangan langsung konferensi ini memang membawa keadilan lebih dekat ke ruang keluarga kita. Namun, di balik kemudahan akses ini, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah semua tahapan transmisi memang tepat untuk ditayangkan secara langsung? Bagaimana dengan integritas proses peradilan itu sendiri? Pertanyaan ini semakin relevan dengan munculnya wacana tentang larangan siaran langsung dalam rancangan Revisi KUHAP yang tengah dibahas.
Memaknai “Persidangan Terbuka untuk Umum”
Asas “persidangan terbuka untuk umum” merupakan prinsip fundamental dalam sistem peradilan Indonesia. Namun, penting untuk memahami makna sesungguhnya dari prinsip ini. serupa diungkapkan oleh Indra Tua Hasangapon Harahap dari Tim MariNews,
“Pembatasan penyiaran konferensi secara live bukanlah tindakan terhadap pengunjung ataupun masyarakat untuk mendapatkan akses ke pesta kecuali lebih untuk menjaga marwah dan menyiarkan pesta itu sendiri.”
Perspektif ini memberikan penegasan bahwa “terbuka untuk umum” tidak serta merta berarti seluruh proses harus disiarkan secara langsung. Keterbukaan lebih merujuk pada aksesibilitas masyarakat untuk menghadiri konferensi secara fisik atau mendapatkan informasi mengenai proses konferensi, tanpa harus melalui tayangan live streaming.
Dalam konteks keterbukaan informasi, Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik di Pengadilan, yang mengkategorikan jenis-jenis informasi pengadilan. Meskipun SK ini tidak mengatur konferensi secara spesifik, kategorisasi pendekatan ini memberikan perspektif bahwa keterbukaan informasi perlu diimplementasikan dengan mempertimbangkan konteks dan kepentingan yang lebih luas.
Kerangka Regulasi Perekaman Persidangan
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2012 (SEMA 4/2012)
SEMA 4/2012 tentang Perekaman Proses Persidangan menjadi landasan khusus yang mengatur tentang perekaman
sidang. Tujuan utama dari SEMA ini adalah untuk memastikan penyelenggaraan konferensi yang lebih transparan, akuntabel, dan teratur. Beberapa ketentuan penting dalam SEMA 4/2012:
-
Tujuan Perekaman: Untuk memastikan penyelenggaraan perdamaian yang lebih transparan, akuntabel, dan teratur.
-
Izin Ketua Majelis: Perekaman oleh pihak selain pengadilan harus mendapatkan izin dari Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan.
-
Larangan Mengganggu: Perekaman tidak boleh mengganggu penyiaran dan penyiaran.
-
Batasan Persidangan Tertutup:
Perekaman tidak diperbolehkan pada konferensi yang dinyatakan tertutup untuk umum.
-
Kewenangan Pembatasan: Ketua Majelis Hakim mempunyai kewenangan untuk membatasi kegiatan perekaman jika menonton mengganggu persidangan.
-
Koordinasi dengan Pengadilan: Pihak yang akan melakukan perekaman perlu berkoordinasi dengan pihak pengadilan untuk teknis pelaksanaannya.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2020
Sebagai peraturan yang lebih baru, PERMA No. 6 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan memberikan ketentuan yang lebih spesifik dan komprehensif:
-
Pasal 4 ayat (6): “Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan.”
-
Pasal 4 ayat (7): “Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual tidak dapat dilakukan dalam Persidangan tertutup untuk umum.”
-
Pasal 4 ayat (9): “Setiap orang yang hadir dalam ruang sidang dilarang menggunakan telepon seluler untuk melakukan komunikasi dalam bentuk apa pun dan tidak mengaktifkan nada dering/suara telepon seluler selama
“Persidangan sedang berlangsung.”
-
Pasal 15 ayat (2): “Pimpinan Pengadilan/Ketua Majelis/Hakim melakukan peneguran/tindakan untuk menertibkan hal yang menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”
Kode Etik Jurnalistik dan Regulasi Penyuaran
Dalam konteks media yang melakukan liputan konferensi, terdapat kerangka regulasi tambahan yang perlu diperhatikan:
-
Edaran Komisi Penyuaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers: KPI dan Dewan Pers telah menegaskan bahwa mereka “tidak akan pernah dan tidak akan mengeluarkan peraturan tentang larangan siaran langsung acara pencahayaan di pengadilan.” Keputusan apakah suatu konferensi dapat diliput secara langsung “sepenuhnya berada pada kewenangan hakim pengadilan atau badan instansi yang menyelenggarakan perayaan tersebut.”
-
Tanggung Jawab Lembaga Penyuaran: KPI dan Dewan Pers mengingatkan bahwa “penyelenggaraan program siaran menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran.” Lembaga penyiaran diminta untuk “melakukan upaya-upaya pencegahan terjadinya pelanggaran atas P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) yang ditetapkan KPI dan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers.”
-
Sanksi terhadap Pelanggaran: KPI sesuai UU Penyiaran Pasal 8 ayat 2 butir d “mempunyai kewenangan untuk memberi sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan P3/SPS,” termasuk siaran langsung penyiaran yang baris P3/SPS. Dewan Pers juga akan memberikan sanksi terhadap pemberitaan pers yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Ketentuan dalam KUHAP yang relevan dengan protokoler konferensi termasuk:
Tinggalkan Balasan