“Berdasarkan data dari Januari sampai Agustus, jumlah PHK di Jateng mencapai 6.844 orang, dan ada 2.289 orang yang dirumahkan,” ujar Aziz Rabu (4/9/2024).
Meskipun terdapat perbedaan angka, Disnakertrans Jateng masih berhati-hati dalam merespons perkembangan ini dan menyatakan akan mengadakan pertemuan dengan anggota DPR RI dan Asosiasi Pertekstilan pada Kamis (5/9/2024) untuk membahas kondisi industri di provinsi tersebut.
Aziz juga mencontohkan kasus perusahaan SAI Apparel yang sempat diberitakan melakukan PHK terhadap 8.000 pekerja, namun setelah diklarifikasi hanya 1.450 pekerja yang terkena PHK, dan mereka telah mendapatkan pesangon.
Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jateng, Aulia Hakim, menyampaikan keprihatinan atas tingginya angka PHK di Jawa Tengah.
Menurutnya, hal ini sangat ironis mengingat Jateng selama ini dikenal sebagai provinsi dengan upah minimum yang rendah, yaitu Rp2.036.947 per bulan.
Ia juga menyoroti bahwa kebijakan upah murah yang selama ini dijadikan alat untuk menarik investasi ternyata tidak mampu mengatasi gelombang PHK.
“Di Jawa Tengah, yang dikenal dengan tingkat upah rendah, justru angka PHK tertinggi tercatat, terutama di sektor manufaktur, tekstil, dan industri pengolahan.
Padahal, kebijakan upah murah selama bertahun-tahun dipromosikan sebagai strategi untuk menciptakan lapangan kerja,” jelas Aulia.
Dengan adanya gelombang PHK ini, Jateng menjadi sorotan terkait efektivitas kebijakan industri dan ketenagakerjaan, serta bagaimana upaya pemerintah setempat dalam menekan angka PHK di masa mendatang.
(M. Efendi)