Opini – Media massa, baik itu televisi, radio, surat kabar, maupun platform digital seperti media sosial, memiliki peran sentral dalam budaya politik.
Tidak hanya sebagai penyampai informasi, media juga menjadi arena di mana opini dan persepsi publik terbentuk dan dipertaruhkan.
Dalam konteks politik, peran media tidak hanya sebagai penyaji berita, tetapi juga pembentuk opini yang memengaruhi bagaimana masyarakat memandang isu-isu tertentu, tokoh politik, dan kebijakan publik.
Media sering kali dianggap sebagai kekuatan keempat dalam demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Media memiliki kemampuan untuk memilih isu apa yang disorot (agenda setting), bagaimana isu tersebut diinterpretasikan (framing), serta bagaimana opini publik diarahkan.
Dengan menggunakan bahasa, visual, dan narasi tertentu, media dapat membentuk persepsi publik tentang suatu peristiwa atau tokoh politik.
Sebagai contoh, dalam masa kampanye pemilu, media sering kali mengedepankan isu-isu tertentu yang dianggap penting, seperti ekonomi, pendidikan, atau keamanan.
Dengan memberikan porsi liputan yang besar pada satu isu, media membantu membentuk persepsi bahwa isu tersebut adalah prioritas bagi masyarakat.
Begitu pula, bagaimana media menampilkan kandidat politik, baik dari sisi citra personal maupun rekam jejak, dapat secara langsung mempengaruhi preferensi pemilih.
Dalam konteks media sosial, fenomena ini semakin diperkuat oleh algoritma yang menyesuaikan konten dengan preferensi pengguna.
Algoritma ini menciptakan “filter bubble” atau “echo chamber,” di mana pengguna hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangan mereka.
Hal ini dapat memperkuat polarisasi politik di masyarakat.
Budaya politik merupakan cara pandang dan perilaku masyarakat terhadap sistem politik dan aktor-aktor di dalamnya.
Media, dalam hal ini, tidak hanya mencerminkan budaya politik tetapi juga turut membentuknya.
Di negara-negara dengan budaya politik partisipatif, misalnya, media sering kali mengedepankan diskusi yang kritis dan terbuka.
Sebaliknya, di negara-negara dengan budaya politik pasif atau otoritarian, media cenderung menjadi alat propaganda negara, dengan kontrol ketat atas apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan.
Di Indonesia, media sering kali menjadi arena pertempuran narasi antara kelompok-kelompok politik.
Media yang berafiliasi dengan kelompok atau partai politik tertentu cenderung menyajikan berita dengan sudut pandang yang mendukung kepentingan mereka.
Ini menciptakan fragmentasi di masyarakat, di mana publik terpecah menjadi kelompok-kelompok yang menerima informasi yang berbeda-beda tergantung pada afiliasi media yang mereka konsumsi.