“Saya dipasrahi Pemkot sejak monumen ini dibangun.
Enggak digaji, dulu pernah dikasih mesin pemotong rumput, tapi sekarang sudah rusak,” ujarnya. “Saya cuma ingin satu, tolong akses jalan ke sini diperbaiki.
Monumen ini sejarah loh, masa dibiarkan.”
Menurut pengamat sejarah Rukardi, monumen ini dibangun pada 14 Oktober 1998 oleh Wali Kota Semarang saat itu, Soetrisno Soeharto, atas prakarsa veteran Jepang, Aoki Masafumi.
Monumen ini mencatat sekitar 150 nama korban, termasuk tentara dan warga sipil Jepang yang terbunuh dalam pertempuran.
Nama-nama tersebut diukir di batu monumen sebagai pengingat dampak perang yang menghancurkan kehidupan manusia.
Setiap tahun, ziarah dari warga Jepang selalu diiringi perasaan emosional mendalam, karena dipercaya bahwa monumen ini menghadap langsung ke Tokyo, tempat kedudukan Kaisar Jepang.
Rukardi menegaskan pentingnya masyarakat, terutama generasi muda, memahami nilai kemanusiaan di balik peristiwa ini.
Monumen Ketenangan Jiwa bukan hanya untuk mengenang sejarah, tetapi juga sebagai pengingat bahwa perang selalu membawa penderitaan bagi semua pihak.
“Masyarakat perlu mengetahui keberadaan Monumen Ketenangan Jiwa.
Generasi muda juga harus paham bahwa perang selalu memakan korban.
Yang terpenting adalah nilai kemanusiaan, yang harus ditempatkan di atas segalanya,” jelasnya.
Monumen ini menjadi simbol penting dari sejarah panjang Semarang dan Indonesia, namun akses yang buruk dan ketidaktahuan masyarakat mengancam keberadaannya.
Upaya perbaikan akses dan peningkatan kesadaran akan pentingnya monumen ini sangatlah mendesak, agar jejak sejarah ini tidak terkubur oleh waktu.
(M. Efendi)