Perumpamaan Fauzi bahwa ayahnya adalah talang air yang “ora teles” (tidak basah) sangat tepat. Hal ini sejalan dengan prinsip Muhammadiyah: “hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Pak AR menjalani prinsip ini dengan sepenuh hati — seratus persen!
Kembali ke laptop, netizen Indonesia saat ini masih ramai memperdebatkan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang terbang ke Amerika menggunakan pesawat private jet (PJ). Publik bertanya-tanya, apakah kasus PJ ini termasuk gratifikasi atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat merujuk pada dialog antara Fauzi dan Pak AR dalam cerita Syaefudin Simon di atas itu.
Pak AR bertanya, mungkinkah orang kaya memberi uang kepada beliau jika bukan karena posisinya sebagai pimpinan Muhammadiyah?
Jawabannya terlihat jelas dari cara Pak AR mendidik putranya. Fauzi tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk mengambil bagian dari uang tersebut, meskipun yang menerima donasi adalah ayahnya. Bantuan itu sepenuhnya dialokasikan untuk membantu orang miskin, yatim piatu, sekolah yang kekurangan dana, dan pihak-pihak yang berhak. Muhammadiyah merupakan lembaga Islam yang berfokus pada pembangunan sekolah di daerah terpencil yang belum mendapat perhatian dari pemerintah.
Beralih ke kasus PJ. Logikanya, apakah mungkin Kaesang Pangarep mendapatkan “tebengan” PJ jika dia bukan anak presiden? Jelas jawabannya: tidak mungkin!
Mengacu pada istilah yang digunakan oleh Pak AR, talang rumah Pak Jokowi kemungkinan tidak terbuat dari plastik. Buktinya, talang itu basah di mana-mana — di PJ, di tambang nikel Blok Medan, di saham Persis Solo, dan lainnya.
Gambaran ini tidak perlu dibuktikan dengan argumen hukum yang berbelit-belit. Semuanya cukup jelas dan terang benderang.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa boleh jadi talang rumah Pak Jokowi bukan terbuat dari plastik, melainkan dari busa. Air hujan akan terserap oleh busa itu sebelum jatuh ke tanah.
Demikianlah kisah Syaefudin Simon, yang pernah tinggal di rumah Pak AR, dalam bukunya.
Soal hukum fikihnya — apakah haram atau tidak — silakan tanyakan kepada hati nurani, logika, dan etika kita masing-masing. Hati nurani, logika, dan etika adalah fondasi hukum fikih yang sempurna.
Penulis: Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said, Surakarta