Tambang di Wringinputih Rugikan Warga, Janji Perbaikan Diduga Hanya Formalitas

Abah Sofyan

Investigasi Indonesia

Semarang, Jawa Tengah — Kesepakatan penting mengenai dampak aktivitas tambang di Desa Wringinputih ditandatangani pada 15 September 2025 di Gedung SPAU Dinas Perhubungan Kabupaten Semarang. Namun, lebih dari dua minggu berlalu, warga mempertanyakan: Apakah janji dalam dokumen itu benar-benar ditepati?

Berita acara bernomor BA 4029/IX/2025 dengan kop surat Dinas Perhubungan Kabupaten Semarang ini ditandatangani oleh sejumlah pihak, termasuk:

  • Kepala Dinas Perhubungan, Tri Martono, SH.MM.
  • Perwakilan Dinas ESDM Jateng, Arhiatma RR
  • Dinas PU Kabupaten Semarang, Eko Sudarmadi
  • Dinas Lingkungan Hidup, Amin Rosidi
  • Kanit Kamsel Polres Semarang, Ipda Aprilia Ika, S.Psi., MM.
  • Perwakilan Kesbangpol, Bagian Perekonomian & SDA, tokoh masyarakat, hingga pihak perusahaan tambang seperti PT Mahidara Artha Sangkara dan PT Mega Milenial Mulia.

Isi Kesepakatan: Lima Poin Kunci

Tenggat 14 Hari bagi PT Mahidara Artha Sangkara untuk merespons tuntutan warga terkait perbaikan jalan rusak.

Bacaan Lainnya

Pengurangan muatan angkut hingga 50% selama masa tenggang.

Pembatasan jam operasional, yaitu pukul 08.00–16.00 WIB dan 16.00–20.00 WIB dengan maksimal 10 armada.

Pengawasan ketat oleh Satlantas Polres dan Dinas Perhubungan selama 14 hari.

Komitmen menjaga kondusivitas dari pihak desa, BPD, dan tokoh masyarakat.

Di Balik Kesepakatan: Siapa yang Diuntungkan?

Sekilas, kesepakatan ini terlihat pro-warga. Namun, jika dicermati lebih dalam, sejumlah kejanggalan muncul.

Janji 14 Hari Tanpa Kepastian
Warga hanya menerima janji perbaikan dengan tenggat dua minggu. Padahal, kerusakan jalan sudah lama mengganggu aktivitas harian. Pemerintah dinilai memberi celah penundaan, bukan penegakan hukum.

Muatan Dikurangi 50%?
Pengurangan ini seolah menjadi bentuk negosiasi, padahal aturan tonase sudah diatur dalam undang-undang. Perusahaan yang melanggar seharusnya disanksi, bukan dinegosiasikan.

Pengakuan Tanpa Regulasi
Pembatasan jam operasional baru diberlakukan setelah warga protes. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan sebelumnya, karena perusahaan bebas beroperasi tanpa batas.

Pengawasan Sementara
Pengawasan yang hanya berlaku selama 14 hari memperkuat kesan bahwa sebelumnya tidak ada kontrol serius. Setelah masa ini berakhir, siapa yang akan menjamin kondisi tetap terkendali?

Warga Diminta Menjaga Kondusivitas
Ironis, warga yang terdampak justru diminta bersabar dan tenang, sementara penderitaan mereka akibat polusi, jalan rusak, dan kebisingan belum terselesaikan.

Lalu bagaimana dengan prosedur hukum terkait perizinan aktivitas tambang galian C tersebut? Apakah prosesnya sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan apakah seluruh warga telah menyetujui serta sepakat terhadap izin lingkungannya?”

Sementara dari hasil wawancara awak media kepada sejumlah warga, terungkap rasa kekecewaan dan kekesalan yang mendalam, bahkan warga menyebut kesepakatan tersebut sebagai bentuk formalitas tanpa tindakan nyata.

Seorang warga Desa Wringinputih yang memilih untuk tidak disebutkan namanya mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap aparat desa dan respons terhadap tuntutan warga.

Kami sedang memperjuangkan perbaikan jalan yang rusak, tapi panitia wayang acara sedekah bumi malah datang minta sumbangan—dan mereka dapat Rp30 juta. Padahal, dampak yang ditimbulkan aktivitas tambang ini bisa mencapai ratusan juta rupiah. Warga tidak mendapat kompensasi sama sekali secara pribadi.”

Ia juga menyoroti ketimpangan prioritas dan dugaan keberpihakan pemerintah desa terhadap perusahaan.

Saya pribadi berharap ini bukan soal kompensasi, tapi soal ganti rugi yang adil. RT dapat dukungan, kas RT terisi, jalan desa diperbaiki, kegiatan dusun dibantu tanpa harus urunan warga. Tapi anehnya, yang dibela justru perusahaan—bukan warganya sendiri. Bahkan kepala desa punya akses langsung ke pihak tambang.”

Warga lain, berinisial IT, menguatkan keluhan yang sama. Ia mengatakan bahwa tidak ada kompensasi langsung yang diterima warga, meski ada dana Rp50 juta dari perusahaan yang disalurkan melalui kelurahan dan dibagi ke beberapa RT.

Uang kompensasi itu tidak menyentuh warga langsung. Sementara kerusakan jalan tetap kami yang tanggung. Kalau seperti ini terus, saya serius ingin tanami pohon pisang di jalan itu, biar semua tahu betapa rusaknya kondisi di sini.”

Ia membandingkan kondisi jalan desa dengan proyek jalan lain yang menunjukkan perbedaan perhatian yang mencolok.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Gravatar profile
  • Rating