Dr. Wilpan Pribadi menyatakan bahwa jumlah pelaku di tempat kejadian perkara (TKP) yang terlihat oleh CCTV jelas lebih dari dua orang, Ia menilai ada alat bukti yang cukup untuk menetapkan pelaku lainnya, termasuk provokator, Ia berharap kepada penyidik Polres Klaten untuk semua yang ada dalam Rekaman CCTV harus dipanggil untuk dimintai keterangan.
“Sudah ada dua terdakwa yang divonis dan itu bisa menjadi alat bukti tambahan. CCTV serta keterangan saksi pun sudah cukup. Kami mendesak agar status DPS segera ditingkatkan karena ini menyangkut keadilan,” ujar Wilpan.
Wilpan juga menegaskan bahwa pihaknya mengapresiasi gelar perkara khusus yang digelar di Polda Jateng karena dinilai obyektif. Ia berharap pihak kepolisian, khususnya Polda Jateng dan Polres Klaten, tidak tebang pilih dalam mengusut siapa provokator dari insiden pengeroyokan ini.
“Jangan sampai simbol PSHT 16 dan 17 disalahgunakan demi kepentingan pribadi. Kami percaya pada kepolisian untuk mengungkap kebenaran,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Wilpan juga telah mengajukan gugatan praperadilan terhadap Polres Klaten atas penanganan perkara ini. Gugatan terdaftar dengan Nomor: 1/Pid.Pra/2025/PN Kln.
Dengan adanya gugatan tersebut, pada Rabu dini hari, 28 Mei 2025, Polres Klaten telah melakukan penangkapan terhadap satu lagi terduga pelaku berinisial TH. Namun menurut Wilpan, yang ditangkap bukanlah provokator utamanya.
“TH memang ditangkap, tetapi dia bukan aktor intelektualnya,” tegas Wilpan.
Sementara itu, salah satu korban, Tri Nuri Hartanto, berharap pihak kepolisian dapat segera menangkap pelaku utama.
“Harapan saya, pelaku utamanya bisa segera ditangkap. Siapa yang berbuat, dia harus bertanggung jawab,” katanya kepada awak media.
Pendapat Ahli Hukum: Pengeroyokan Sarat Unsur Terorganisir
Dr. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., dosen hukum pidana Universitas Lambung Mangkurat dan ahli pidana nasional, menyampaikan pendapat bahwa kasus ini bukan aksi spontan, melainkan tindakan terstruktur dan terencana. Ia menyoroti adanya bukti komunikasi sebelum kejadian, pengarahan pimpinan PSHT, hingga pengambilan tongkat sebagai indikasi kuat adanya provokasi sistematis.
“Instruksi siaga satu, mobilisasi anggota, hingga doa bersama sebelum aksi menunjukkan koordinasi. Sayangnya, aktor intelektual belum tersentuh hukum, dan vonis yang dijatuhkan jauh dari rasa keadilan,” ujar Anang.

Ia menambahkan bahwa penegakan hukum semestinya tidak hanya menyentuh pelaku lapangan, tetapi juga pihak yang mengatur, memprovokasi, dan membiarkan tindakan tersebut terjadi.
(TIM/Red)
Tinggalkan Balasan