- Penyalahgunaan wewenang,
- Kerja sama dengan penerbit ijazah palsu,
- Praktik komersialisasi tanda tangan jabatan.
Tindakan tersebut dapat masuk dalam kategori pidana pemalsuan dokumen hingga penyalahgunaan jabatan.
Mengapa Aparat Lambat Bertindak?
Dua kemungkinan penyebab diduga paling berpengaruh:
- Kasus lama tidak dianggap prioritas.
- Dugaan keterlibatan internal yang menyebabkan penyelidikan mandek.
Keduanya berbahaya, karena membuka ruang bagi mafia dokumen untuk terus beroperasi.
Masyarakat Minta Kepastian Hukum
Warga Kutai Timur yang kami wawancarai mengaku bingung dan kecewa karena laporan mereka ke Propam Mabes Polri pun belum jelas tindak lanjutnya.
“Kasus ini terlalu lama menggantung. Kami sudah menyertakan bukti ijazah palsu lebih dari satu orang, serta laporan dugaan penggelapan dana. Tapi belum ada kejelasan,” ujarnya.
Masyarakat berharap penyelidikan segera dibuka kembali, oknum pejabat diperiksa, jaringan penerbit ijazah palsu dibongkar, dan hak korban dipulihkan.
Aturan Hukum yang Relevan & Ancaman Pidana
1. Pasal 263 KUHP
Pemalsuan surat atau dokumen resmi.
Ancaman hukuman:
Maksimal 6 tahun penjara.
2. Pasal 264 KUHP
Pemalsuan dokumen autentik atau akta resmi negara.
Ancaman hukuman:
Maksimal 8 tahun penjara.
3. Pasal 266 KUHP
Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik.
Ancaman hukuman:
Maksimal 7 tahun penjara.
4. Pasal 52 UU No. 20 Tahun 2003 (Sistem Pendidikan Nasional)
Penggunaan ijazah palsu dan penyelenggaraan pendidikan tanpa izin.
Ancaman:
Denda dan pidana sesuai ketentuan pemalsuan dokumen.
5. Pasal 3, 5, dan 12 UU Tipikor (jika ada penyalahgunaan jabatan)
Pejabat yang menyalahgunakan kewenangan untuk keuntungan pribadi.
Ancaman:
4–20 tahun penjara dan denda hingga miliaran rupiah.
(TIM)









Tinggalkan Balasan