Kasus ini menjadi alarm keras bagi kebebasan pers. Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga bentuk intimidasi terhadap hak publik atas informasi yang benar dan transparan.
Hingga kini, belum ada keterangan resmi dari kepolisian mengenai identitas pelaku ataupun tindak lanjut penyelidikan. Komunitas pers menuntut aparat bergerak cepat mengusut kasus ini dan menjamin keselamatan jurnalis di lapangan.
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, mengecam keras insiden ini. Ia menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk kriminal serius terhadap jurnalis yang tengah menjalankan fungsi kontrol sosial.
“Perampasan alat kerja dan pengeroyokan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap demokrasi. Ini bukan sekadar kekerasan fisik, tapi juga usaha membungkam kebenaran,” tegas Wilson, yang juga alumni Lemhannas RI PPRA 48 tahun 2012.
Wilson juga mengingatkan bahwa UU Pers No. 40 Tahun 1999 dengan tegas menjamin perlindungan hukum bagi jurnalis. Ia mendorong semua pihak, termasuk aparat dan masyarakat sipil, untuk tidak tinggal diam menghadapi ancaman terhadap kebebasan pers.
“Jika dibiarkan, ini menjadi preseden buruk. Negara wajib hadir untuk melindungi warganya, terlebih mereka yang bekerja untuk kepentingan publik,” tambahnya.
Dari sisi hukum, tindakan pengeroyokan dan perampasan yang dialami Ambarita dapat dijerat dengan berbagai pasal pidana, antara lain:
- Pasal 351 KUHP: Penganiayaan (penjara hingga 5 tahun)
- Pasal 170 KUHP: Pengeroyokan (penjara hingga 7 tahun)
- Pasal 365 KUHP: Pencurian dengan kekerasan (penjara maksimal 9 tahun)
Selain itu, pelaku juga dapat dijerat melalui UU Pers sebagai lex specialis, terutama Pasal 18 ayat (1) yang menyebut:
“Barang siapa yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
PPWI menyerukan solidaritas seluruh jurnalis, pegiat media, dan masyarakat sipil untuk bersatu menolak segala bentuk kekerasan terhadap pekerja media.
“Kekerasan tidak bisa dijadikan alat untuk membungkam kerja jurnalistik. Kita harus lawan bersama,” tutup Wilson Lalengke.
(TIM)
Tinggalkan Balasan