Keseimbangan yang Tepat: Protokoler Persidangan di Era Digital

Abah Sofyan
  • Pasal 153 ayat (1): Hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau penuntutannya terhadap anak-anak.

  • Pasal 160 ayat (1) huruf a: Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang.

Regulasi-regulasi di atas menegaskan bahwa meskipun perekaman konferensi pada dasarnya diperbolehkan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas, namun tetap ada batasan dan aturan yang perlu dipatuhi untuk menjaga martabat dan perdamaian.

Distribusi Kewenangan dalam Pengaturan Siaran Persidangan

Hal yang menarik dari kerangka regulasi di atas adalah kewenangan distribusi yang jelas antara berbagai pihak:

Bacaan Lainnya
  1. Hakim/Ketua Majelis: Memiliki kewenangan untuk memberikan atau menolak izin pengambilan foto, rekaman audio, dan rekaman audio visual dalam konferensi yang dipimpinnya. Hakim juga berwenang untuk membatasi atau menghentikan perekaman jika menonton rekaman.

  2. Lembaga Penyiaran: Bertanggung jawab atas konten siaran yang ditayangkan, termasuk siaran langsung. Lembaga Penerbitan wajib mengantisipasi kemungkinan pelanggaran P3SPS dan Kode Etik Jurnalistik dalam siaran langsung penyiaran.

  3. KPI dan Dewan Pers: Berperan sebagai regulator yang menetapkan pedoman siaran dan kode etik, serta memberikan sanksi terhadap pelanggaran. Namun keduanya secara tegas menyatakan tidak memiliki kewenangan untuk melarang siaran langsung konferensi.

Pendistribusian kewenangan ini menunjukkan bahwa regulasi penyiaran pencahayaan tidak bersifat monolitik, melainkan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dengan peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Pendekatan multi-stakeholder ini memungkinkan penyeimbangan yang lebih baik antara berbagai kepentingan: transparansi pendengaran, integritas proses pembuktian, kebebasan pers, dan perdamaian.

Dilema Siaran Langsung dalam Persidangan

Ketika sidang perkara Ferdy Sambo atau Jessica Kumala Wongso disiarkan secara langsung, bukan hanya pembacaan dakwaan atau putusan yang dapat disaksikan publik, melainkan juga proses pemeriksaan saksi. Padahal, jika kita Merujuk pada filosofi hukum acara pidana dan ketentuan KUHAP, pemeriksaan Saksi memiliki karakter khusus yang perlu dijaga keutuhannya.

Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP dengan pengaturan yang jelas bahwa “saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim”. Pengaturan ini memiliki tujuan yang mendalam: menjaga agar keterangan setiap saksi murni bersumber dari pengetahuan dan pengalamannya sendiri, tanpa dipengaruhi oleh keterangan saksi lain.

Ketika proses pemeriksaan Saksi disiarkan secara langsung, Saksi yang belum memberikan keterangan dapat dengan mudah mengikuti keterangan Saksi sebelumnya. Ini berpotensi mempengaruhi—baik secara sadar maupun tidak sadar—substansi keterangan yang akan diberikannya nanti. Dalam kasus sensitif seperti pembunuhan, pengaruh sekecil apa pun terhadap keterangan Saksi dapat berdampak besar pada hasil akhir proses peradilan.

Tantangan Kontemporer: Tiktokers dan Konten Kreator

Di era media sosial, tantangan protokol penyiaran semakin kompleks dengan munculnya fenomena baru: tiktokers dan kreator konten yang secara diam-diam merekam penyiaran untuk kepentingan konten. Berbeda dengan jurnalis yang mengikat kode etik dan persetujuan pada mekanisme perizinan formal, pembuat konten ini seringkali merekam tanpa izin resmi, bahkan secara sembunyi-sembunyi.

Praktek ini jelas bertentangan dengan ketentuan SEMA 4/2012 dan Pasal 4 ayat (6) PERMA No. 6 Tahun 2020 yang mensyaratkan izin dari Hakim/Ketua Majelis Hakim sebelum melakukan pengambilan foto atau rekaman. Namun, penegakan aturan ini mengatasi tantangan praktis mengingat kemudahan teknologi perekaman yang semakin canggih dan tidak mudah terdeteksi.

Fenomena ini menimbulkan beberapa kekuatan yang serius:

  1. Potensi pelanggaran privasipara pihak yang terlibat dalam konferensi, terutama ketika rekaman terfokus pada aspek-aspek pribadi atau emosional tanpa konteks hukum yang memadai.

  2. Fragmentasi informasitentang pernikahan, di mana potongan-potongan rekaman yang mungkin tidak merepresentasikan keseluruhan proses konferensi yang disebarluaskan dan berpotensi menimbulkan narasi yang tidak akurat.

  3. Pendramatisasian proses peradilanyang mereduksi kompleksitas dan keseriusan konferensi menjadi sekadar konten hiburan.

  4. Gangguan terhadap perdamaianketika perhatian para pihak dialihkan oleh kehadiran rekaman tidak resmi.

Mencari Titik Temu: Transparansi vs Integritas

Diskusi tentang siaran langsung konferensi perlu ditempatkan dalam kerangka yang lebih luas: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan akan transparansi dengan kebutuhan akan integritas proses pembuktian. Ini bukan perdebatan hitam-putih antara pendukung keterbukaan total dan pendukung sukarela.

Beberapa pertimbangan yang dapat menjembatani kedua kepentingan tersebut:

Diferensiasi rangkaian.

Tidak semua tahapan memiliki sensitivitas yang sama. Pembacaan dakwaan, pembelaan, dan kesimpulan umum lebih cocok untuk siaran langsung dibandingkan pemeriksaan Saksi. Alih-alih larangan total, mungkin lebih tepat untuk membedakan perlakuan terhadap tahapan yang berbeda.

Pembatasan berbasis kepentingan peradilan.

Alih-alih aturan kaku, pengadilan dapat diberikan diskresi untuk membatasi siaran langsung berdasarkan pertimbangan konkret tentang kepentingan peradilan dalam kasus tertentu. Hakim dapat menilai apakah siaran langsung berpotensi mengkompromikan integritas proses tertentu.

Teknologi alternatif.

Solusi teknologi seperti menunda siaran (delayed siaran) dapat memberikan keseimbangan antara keterbukaan dan kebutuhan untuk menjaga integritas pemeriksaan Saksi. Dengan model ini, rekaman audio dapat ditayangkan setelah seluruh Saksi dalam satu tahapan selesai diperiksa.

Penguatan mekanisme dokumentasi resmi.

Pengadilan dapat memperkuat sistem dokumentasi resminya dan membuat rekaman ini lebih mudah diakses oleh publik, sehingga kebutuhan siaran langsung tidak resmi dapat berkurang.

Menuju Keseimbangan yang Lebih Baik

Tantangan protokoler konferensi di era digital bukan tentang memilih antara keterbukaan total atau ketertutupan absolut. Ini adalah tentang menemukan titik keseimbangan yang tepat yang menghormati prinsip-prinsip terbuka untuk umum, namun tetap menjaga integritas proses peradilan.

Beberapa pendekatan yang dapat dipertimbangkan:

Pertama, selektivitas tahapan yang disiarkan langsung.

Hakim dapat mempertimbangkan untuk mengizinkan siaran langsung hanya pada tahapan tertentu yang tidak mengkompromikan integritas proses pembuktian. Pembacaan dakwaan, pemeriksaan pengujian (dalam batas tertentu), dan pembacaan keputusan umum lebih aman untuk disiarkan dibandingkan pemeriksaan Saksi.

Kedua, menunda waktu siaran.

Alih-alih siaran langsung real-time, penonton dapat mempertimbangkan model tertunda waktu siaran, di mana rekaman siaran baru ditayangkan setelah seluruh Saksi dalam satu tahapan selesai diperiksa. Ini dapat menjaga kemandirian keterangan saksi tanpa mengeluarkan keterbukaan informasi.

Ketiga, pengumuman resmi.

Pengadilan dapat menyiarkan resmi konferensi yang dapat diakses oleh publik, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 15 ayat (1) PERMA No. 6 Tahun 2020 tentang diseminasi informasi. Dengan demikian, masyarakat tetap mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus tanpa perlu mengekspos seluruh proses pemeriksaan Saksi.

Keempat, kolaborasi antara pengadilan dan media.

Pengadilan dan media dapat mengembangkan model kolaborasi yang lebih terstruktur dalam liputan perdamaian. Kolaborasi ini dapat meliputi penunjukan pool camera resmi, pelatihan bersama tentang etika liputan konferensi, dan pengembangan panduan praktis untuk jurnalis yang meliput konferensi.

Kelima, penguatan kerangka regulasi untuk pencipta konten.

Perlu dikembangkan kerangka regulasi khusus yang mengatur perekaman konferensi oleh pencipta konten yang tidak terikat kode etik jurnalistik. Kerangka ini dapat mencakup persyaratan pendaftaran, pelatihan singkat tentang transmisi sinyal, dan sanksi bagi pelanggaran.

Penutup: Keadilan yang Bermartabat di Era Digital

Persidangan terbuka untuk umum adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam negara hukum. Prinsip ini menjamin bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga terlihat ditegakkan. Namun, keterbukaan ini perlu diimplementasikan dengan kebijaksanaan yang mempertimbangkan kompleksitas proses pemahaman dan tantangan era digital.

Sebagaimana ditekankan oleh Indra Tua Hasangapon Harahap, penyiaran penyiaran secara langsung lebih ditujukan untuk “menjaga marwah dan menyebarkan penyiaran” daripada membatasi akses masyarakat terhadap penyiaran informasi. Perspektif ini menawarkan kerangka yang lebih bernuansa dalam memahami keterbukaan konferensi di era digital.

SEMA 4/2012 secara khusus telah mengatur bahwa perekaman konferensi dimaksudkan untuk memastikan terlaksananya konferensi yang lebih transparan, akuntabel, dan teratur. Namun, transparansi ini perlu diimplementasikan dengan tetap menjaga martabat dan perdamaian, serta memperhatikan integritas proses pembuktian.

KPI dan Dewan Pers, sebagai institusi yang bertanggung jawab atas regulasi media, telah memberikan kerangka yang jelas: keputusan apakah suatu konferensi dapat diliput secara langsung sepenuhnya berada pada otoritas hakim, namun lembaga penyiaran tetap bertanggung jawab untuk memastikan bahwa siaran mereka tidak melanggar etika dan peringatan penyiaran. Ini adalah model co-responsibility regulatori yang memungkinkan terciptanya sekaligus akuntabilitas.

Wacana larangan siaran langsung konferensi dalam RUU KUHAP perlu dibahas secara mendalam dengan melibatkan berbagai perspektif, termasuk dari kalangan opini, media, akademisi hukum, dan masyarakat sipil. Alih-alih larangan total, mungkin lebih tepat untuk mengembangkan kerangka regulasi yang lebih bernuansa yang dapat menyeimbangkan transparansi dengan integritas proses penegakan hukum.

Kasus-kasus besar seperti Ferdy Sambo dan Jessica Kumala Wongso telah membuka jendela baru dalam hubungan antara peradilan dan publik di Indonesia. Kasus kedua ini menunjukkan besarnya minat publik terhadap proses pembuktian, namun juga mengingatkan kita akan perlunya keseimbangan yang tepat antara transparansi dan integritas proses pembuktian.

Pada akhirnya, keadilan yang ideal adalah keadilan yang transparan namun tetap menjaga integritas proses peradilannya. Keadilan yang membuka diri untuk disaksikan publik, namun tidak mengorbankan kemandirian pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Keadilan yang dijanjikan tidak hanya dalam substansinya, tetapi juga dalam cara menyampaikannya kepada publik di era digital ini.

Oleh SUNOTO, SH.MH.
Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Referensi:

1. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses Persidangan.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

4. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik di Pengadilan.

5. Harahap, Indra Tua Hasangapon. (14 Maret 2025). “Persidangan Live dan Makna Persidangan Terbuka untuk Umum.” MariNews.

6. “Draf RUU KUHAP Atur Larangan Siaran Langsung di Persidangan.” Tempo.co. Diakses dari: https://www.tempo.co/hukum/draf-ruu-kuhap-atur-larangan-siaran-langsung-di-persidangan-ahli-membatasi-kebebasan-pers-1227549

7. Siaran Pers Bersama Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers tentang Siaran Langsung Persidangan

(Arief/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Gravatar profile
  • Rating