Penundaan ini langsung memicu reaksi keras dari kelompok sopir truk yang sejak awal konsisten mengawal proses hukum. Mereka menilai penundaan ini sebagai simbol dari kaburnya keadilan dan mencemaskan potensi kriminalisasi terhadap pekerja kecil.
Kuasa Hukum: Penetapan Tersangka Cacat Formil dan Sewenang-wenang
Kuasa hukum Adi Rikardi, Radetya Andreti H.N., S.H., mengecam keras proses penetapan tersangka oleh Polresta Magelang. Ia menyebut bahwa kliennya ditetapkan sebagai tersangka tanpa pernah diperiksa sebagai calon tersangka, tanpa pemanggilan resmi, dan tanpa bukti kuat.
“Ini bukan hanya cacat hukum secara formil, tapi juga bentuk nyata penyalahgunaan wewenang. Klien kami diperlakukan semena-mena,” tegas Radetya usai persidangan.
Ia berharap hakim tunggal dapat melihat perkara ini secara objektif dan menjatuhkan putusan yang menjadi preseden perlindungan hukum bagi rakyat kecil terhadap tindakan represif aparat.
Polresta Magelang Bungkam, Akuntabilitas Dipertanyakan
Berbeda dengan pihak pemohon, perwakilan dari Polresta Magelang memilih bungkam dan menolak memberikan pernyataan kepada awak media. Sikap ini dinilai publik sebagai bentuk penghindaran dari tanggung jawab dan memperkuat kecurigaan akan lemahnya transparansi penegakan hukum.
Sopir Truk Solid, Perlawanan Terus Menguat
Di luar ruang sidang, puluhan sopir truk tetap hadir menunjukkan solidaritas. Dengan spanduk bertuliskan “Stop Kriminalisasi Pekerja Kecil!” dan “Hukum Jangan Tajam ke Bawah!”, mereka menyuarakan kegelisahan yang selama ini dialami oleh kalangan pekerja bawah.
“Kenapa Adi yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara pemilik depo tidak tersentuh hukum? Ini tidak adil,” ujar salah satu sopir.
Mereka berjanji akan hadir lebih banyak dalam sidang putusan Selasa nanti sebagai bentuk tekanan moral agar keadilan benar-benar ditegakkan.
Sidang Putusan: Harapan Terakhir atau Awal Kekecewaan Baru?
Sidang putusan pada 5 Agustus 2025 menjadi momen penentuan. Jika gugatan dikabulkan, status tersangka Adi Rikardi gugur, dan penyidikan harus dihentikan. Jika ditolak, proses hukum akan terus berjalan—dan kekhawatiran publik tentang tajamnya hukum ke bawah, tumpul ke atas, makin menjadi kenyataan.
“Ini bukan hanya perjuangan Adi. Ini perjuangan kami semua yang terus dimiskinkan oleh sistem yang tak adil,” pungkas Radetya.
(TIM/Red)
Tinggalkan Balasan