Apa Dasar Laporan LSM FAAKI?
Ketua LSM FAAKI, S. Irianto, menjelaskan bahwa laporan mereka berdasarkan:
- Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang penundaan izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut,
- Kepmenhut tanggal 17 Juni 2011 tentang peta indikatif penghentian sementara pemberian izin.
Menurut Irianto, PT WKS tidak memiliki dasar hukum memperluas izin HTI-nya selain dari addendum SK Menhut Nomor 346 Tahun 2004 seluas 293.812 hektare. Namun faktanya, perusahaan diduga mengelola kawasan di luar batas tersebut.
“Setiap hektare hutan menghasilkan sekitar 150 ton kayu rimba campuran. Jika 2.000 hektare dirambah, itu berarti sekitar 300 ribu ton kayu. Dengan harga kayu Rp 700 ribu per ton (2005), potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 210 miliar,” ungkapnya.
Itu pun belum menghitung kerugian akibat tidak dibayarkannya dana reboisasi dan PSDH.
Desakan Keras untuk Tindak Tegas!
FAAKI mendesak Kejati Jambi agar segera melimpahkan kasus ini ke pengadilan dan menjerat para pelaku, baik dari pihak perusahaan maupun pejabat yang terlibat.
“Negara tidak boleh dikalahkan oleh arogansi korporasi. Kejaksaan jangan diuji keseriusannya! Kami minta kasus ini segera diungkap secara pidana,” tegas Irianto.
Pertanyaan yang Menggantung:
Apakah Kejati Jambi sedang menutup-nutupi kejahatan lingkungan ini?
Publik berhak tahu dan menuntut transparansi. Skandal ini adalah tamparan keras bagi penegakan hukum di Indonesia dan menjadi sinyal kuat perlunya reformasi menyeluruh dalam pengawasan sektor kehutanan.
Sumber TIM PPWI Jambi
(Red)
Tinggalkan Balasan