-
Rian Wahyudi, jurnalis senior dari Sumatera Selatan, menulis di akun medianya, “Kami ini bukan makhluk gaib yang tiba-tiba bikin informasi tersebar ke mana-mana. Di balik setiap update jalan tol dan buka-tutup jalur, ada keringat jurnalis lapangan. Tapi ketika semua selesai, kami dianggap angin lalu.”
Maya Pratiwi, reporter media daring di Jawa Tengah, menyebut Dewan Pers sebagai institusi yang ‘kehilangan nyali’. “Bukannya berdiri di depan membela profesi, mereka justru tenggelam dalam euforia tepuk tangan untuk institusi lain. Kalau begini, siapa yang menjaga martabat jurnalis?” ujarnya.
Damar Adityo, redaktur dari Kalimantan Timur, mengatakan bahwa fenomena ini bukan baru. “Setiap kali ada peristiwa nasional, peran pers selalu dianggap pelengkap. Tapi begitu masuk agenda penghargaan, media dilupakan. Ini penyakit sistemik. Dan Dewan Pers? Diam saja,” sesal Damar.
Rita Andani, jurnalis independen di Sulawesi Selatan, menyentil keras narasi sepihak yang terlalu mengkultuskan aparat. “Media mempermudah tugas negara, tapi negara bahkan tak sudi menoleh. Ini bukan hanya ketidakadilan, ini penghinaan terhadap profesi,” katanya tegas.
- Sementara Sofyan, Redaktur Investigasiindonesia.co.id, mengatakan, “sebuah ironi nasional yang menyesakkan. Media yang menjadi jantung informasi, seolah hanya arsir semata.”
Artikel ini menjadi cermin bahwa meski wajah media tampak tenang, di dalamnya menyala bara kekecewaan. Mereka menuntut pengakuan yang adil, bukan pujian semu yang hanya milik birokrat berseragam.
Jika penghargaan hanya diberikan kepada mereka yang berseragam, jangan salahkan mereka jika suatu hari mereka yang memegang mikrofon dan kamera memilih untuk diam.
(Merah)
Tinggalkan Balasan