Investigasi Indonesia
Oleh: Dr. Wilpan Pribadi, S.H., M.H.
Opini – Gugatan terhadap Pasal 8 ayat (5) UU No.11/2021 tentang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi bukanlah sekadar persoalan teknis yuridis, melainkan refleksi mendasar atas ketimpangan sistem imunitas penegak hukum di Indonesia. Pasal yang memberikan kewenangan eksklusif kepada Jaksa Agung untuk mengizinkan penangkapan jaksa ini menciptakan anomali konstitusional yang bertentangan dengan prinsip equality before the law.
Ketimpangan Sistemik yang Mengkhawatirkan
Bandingkan realitas imunitas saat ini: hakim memerlukan izin Mahkamah Agung namun tetap bisa ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT), sebagaimana terbukti dalam kasus hakim PN Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur. Sebaliknya, jaksa menikmati perlindungan absolut tanpa pengecualian apapun, bahkan untuk kasus tertangkap tangan.
Inkonsistensi ini semakin mencolok ketika polisi dan advokat tidak memerlukan izin khusus untuk ditangkap, kecuali advokat dalam menjalankan tugas profesi berdasarkan itikad baik. Pertanyaan mendasar: mengapa jaksa mendapat privilege lebih tinggi dari hakim yang notabene memiliki independensi konstitusional lebih kuat?
Cacat Struktural dalam Sistem Izin
Kewenangan Jaksa Agung untuk mengizinkan penangkapan jaksa menciptakan conflict of interest struktural. Bagaimana mungkin seorang atasan dapat objektif menilai izin penangkapan bawahannya? Lebih problematis lagi jika Jaksa Agung sendiri terlibat dalam jejaring korupsi yang sama.
Kasus penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan (2008) dan Pinangki Sirna Malasari (2020) hanya terjadi karena political will Jaksa Agung saat itu. Namun, bagaimana jika political will tersebut tidak ada? Sistem ini berpotensi menjadi safe haven bagi jaksa nakal.
Usulan Reformasi yang Rasional
Permohonan uji materi yang mengusulkan tiga pengecualian patut didukung:
Pertama, OTT harus dikecualikan dari izin untuk menjaga efektivitas pemberantasan korupsi. Tidak ada alasan logis mengapa jaksa kebal dari penangkapan saat tertangkap tangan menerima suap.
Kedua, tindak pidana berat (mati, seumur hidup, crimes against humanity) dan pidana khusus harus dikecualikan karena sifatnya yang extraordinary.
Tinggalkan Balasan