Jangan Kriminalisasi Wartawan, Proses Etik di Dewan Pers
Wilson juga menyampaikan bahwa jika pun ketiga wartawan tersebut terbukti menerima imbalan untuk menghapus berita, maka itu seharusnya diproses melalui mekanisme kode etik jurnalistik, bukan langsung dikriminalisasi. Ia mengutip Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik dan Poin 3 Kode Etik Pewarta Warga PPWI, yang menyebut bahwa pelanggaran etik harus diselesaikan di internal organisasi atau melalui Dewan Pers.
“Ada mekanisme etik yang harus ditempuh, bukan langsung main tangkap dan penjarakan. Wartawan bukan kriminal. Mereka bisa saja salah secara etik, tapi negara ini punya sistem untuk menilai dan memperbaiki, bukan membinasakan,” kata Wilson.
Ia menegaskan, dalam kasus ini, ada negosiasi dan kesepakatan antara pihak wartawan dan RC. Meski tidak dibenarkan secara etik, peristiwa itu jauh dari unsur paksaan yang menjadi syarat dalam delik pemerasan.
UU Pers: Wartawan Harus Dilindungi
Pasal 8 UU Pers menyatakan bahwa wartawan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Dalam konteks ini, Wilson menilai bahwa ketiga wartawan yang ditangkap sejatinya sedang menjalankan fungsi jurnalistik, meskipun kemudian terjebak dalam transaksi kelam yang didalangi oleh pelaku kejahatan BBM ilegal.
“Polres Blora semestinya jeli melihat bahwa ini jebakan yang dirancang oleh pihak yang ingin membersihkan jejak kejahatannya, bukan murni tindakan pemerasan dari wartawan. Jangan sampai polisi menjadi alat mafia,” katanya menegaskan.
Seruan kepada Kapolri
Mengakhiri pernyataannya, Wilson Lalengke meminta perhatian langsung dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar mengevaluasi jajaran kepolisian di Blora, serta memberi pesan tegas kepada seluruh aparat agar tidak terlibat dalam praktik kolusi dengan pelaku kejahatan.
“Saya tidak membela perilaku wartawan yang melecehkan profesinya demi uang, tapi saya juga tidak rela aparat negara menjadi boneka mafia. Pak Kapolri, di ujung masa pengabdian Anda, berikanlah warisan terbaik bagi dunia pers Indonesia. Didik anggota Anda agar tidak jadi perpanjangan tangan penjahat,” pungkas lulusan Etika Terapan dari Universitas Utrecht, Belanda, dan Universitas Linkoping, Swedia itu.
(APL/Red)
Tinggalkan Balasan