Kisah Pilu Penganiayaan Warga Pinrang versus Pencemaran Nama Baik

Abah Sofyan

“Kasihan negara ini jika membiarkan aparat tidak bermoral seperti ini. Bagaimana kita bisa percaya pada institusi yang seharusnya melindungi jika ada oknum yang penuh dendam dan melupakan tugas mereka sebagai penegak hukum? Polri sebagai institusi besar harus bisa membedakan mana yang bertindak atas dasar hukum, dan mana yang hanya menuruti dendam pribadi,” lanjut Pak Edy.

Pak Edy dan keluarganya kini berharap agar semua bukti yang mereka miliki dapat menjadi dasar bagi penegakan hukum yang adil dalam kasus ini. Mereka meminta agar pihak berwenang dapat melihat dengan jernih dan objektif, tanpa ada pengaruh dari jabatan atau hubungan antar institusi. “Kami ingin keadilan ditegakkan. Jangan biarkan oknum seperti ini terus merusak citra Polri yang kita semua harapkan sebagai penjaga keadilan di negeri ini,” pungkasnya.

Berikut alasan dan argumentasi hukum terkait kasus penganiayaan versus pencemaran nama baik yang dihadapi Pak Edi bersama keluarganya.

1. Hak Publik untuk Mengkritik Pejabat Publik

Bacaan Lainnya

Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28F, menjamin setiap warga negara hak untuk memperoleh informasi, mengkomunikasikan, dan menyebarkan pendapat. Pejabat publik, seperti polisi, yang digaji oleh rakyat, merupakan objek yang sah untuk dikritik. Jika seorang Presiden saja bisa dikritik oleh rakyat, mengapa seorang Komisaris Polisi harus kebal dari kritik? Kritik terhadap pejabat publik merupakan bagian dari kontrol sosial yang sehat dalam demokrasi.

2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Tindakan penyeretan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 5 menyatakan bahwa “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan dengan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabatnya.” Tindakan penyeretan Pak Edy jelas masuk dalam kategori perlakuan yang merendahkan martabat dan melanggar HAM.

3. Tidak Ada Justifikasi untuk Kekerasan Fisik

Tidak ada hukum yang membenarkan kekerasan fisik dalam proses penyelesaian sengketa, apalagi dilakukan oleh aparat penegak hukum. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 33, menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk dilindungi dari kekerasan dan penyiksaan. Aparat yang melakukan penyeretan melanggar prinsip ini, yang seharusnya dihukum, bukan dilindungi oleh klaim pencemaran nama baik.

4. Prinsip Kesetaraan di Hadapan Hukum

Pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Tidak ada pejabat publik yang boleh kebal hukum, termasuk aparat penegak hukum. Melaporkan tindakan penyebaran video kekerasan sebagai pencemaran nama baik, sementara tindakan kekerasan itu sendiri tidak dihukum, mencederai prinsip kesetaraan ini.

5. Pencemaran Nama Baik Tidak Berlaku jika Fakta Terbukti

Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik memberikan pengecualian jika tuduhan tersebut benar atau dapat dibuktikan. Dalam kasus ini, penyeretan Pak Edy telah terekam dan disaksikan banyak orang. Video tersebut merupakan fakta yang tidak bisa disangkal, sehingga tuduhan pencemaran nama baik tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

6. Penyebaran Video sebagai Bentuk Whistleblowing

Penyebaran video yang menunjukkan kekerasan oleh aparat seharusnya dilihat sebagai bentuk whistleblowing, yaitu pengungkapan penyimpangan atau pelanggaran hukum oleh pejabat publik. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengakui hak warga negara untuk melaporkan kejahatan atau pelanggaran tanpa takut akan pembalasan.

7. Aparat Harus Memiliki Standar Etik yang Lebih Tinggi

Sebagai pejabat publik, aparat penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan standar etik yang lebih tinggi. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 5, mengharuskan aparat kepolisian untuk menegakkan hukum dan HAM. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat dalam kasus ini jelas melanggar kewajiban etik dan hukum mereka.

8. Hak atas Informasi yang Seimbang

Warga negara memiliki hak atas informasi yang seimbang dan transparan, termasuk mengungkapkan ketidakadilan yang mereka alami. Pasal 6 UU Pers No. 40 Tahun 1999 mendukung kebebasan pers untuk menyajikan informasi yang benar dan seimbang. Penyebaran video yang menunjukkan tindakan aparat penegak hukum tidak dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik, tetapi sebagai penyampaian fakta kepada publik.

9. Penyebaran Video Bukan Tindak Pidana jika Berbasis Fakta

Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengatur bahwa penghinaan melalui media elektronik hanya berlaku jika informasi yang disebarkan tidak benar. Dalam kasus ini, video yang disebarkan Pak Edy merupakan rekaman langsung dari kejadian penyeretan yang nyata, dan tidak ada elemen kebohongan atau fitnah. Oleh karena itu, tidak ada dasar untuk menyebutnya sebagai tindak pidana pencemaran nama baik.

10. Kekebalan Hukum Bagi Aparat Adalah Pelanggaran Demokrasi

Jika aparat penegak hukum diberikan kekebalan dari kritik publik, ini merupakan ancaman bagi prinsip demokrasi. Prinsip “checks and balances” yang ada dalam sistem demokrasi Indonesia mewajibkan pejabat publik, termasuk polisi, untuk terbuka terhadap kritik. Memberikan perlindungan hukum terhadap aparat yang melanggar hukum akan merusak integritas institusi penegak hukum itu sendiri.

Dengan argumentasi-argumentasi di atas, jelas bahwa tindakan kekerasan oleh aparat terhadap Pak Edy adalah pelanggaran berat yang tidak boleh ditoleransi. Penyeretan yang terekam dan disebarkan ke publik bukan pencemaran nama baik, melainkan kritik sah terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang harus ditanggapi dengan serius, bukan dihentikan atau di-SP3 sebagaimana dilakukan oleh Polres Pinrang.

Penulis adalah Dosen UIN Alauddin Makassar

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Gravatar profile
  • Rating